Laman

Minggu, 01 November 2009

TEMBAKAU, di antara Pengusaha, Buruh Pabrik, Petani, dan Kesehatan Masyarakat


ANDA PEROKOK ? Bersiaplah untuk menderita karena tempat-tempat larangan merokok semakin hari semakin berkurang. Begitu pula dengan peraturan larangan merokok di tempat-tempat tertentu semakin gencar disosialisasikan di kota-kota besar. Belum lagi dengan adanya fatwa MUI tentang rokok.

Ada alasan yang sering dilontarkan para perokok untuk membela diri. Diantaranya adalah "saya merokok untuk melindungi buruh pabrik rokok dan petani tembakau, tanpa adanya perokok hidup mereka akan lebih sengsara". Ada saja alasan perokok untuk tetap merokok, tanpa perokok pemasyarakatan olah raga tidak akan semaju seperti sekarang, pendapatan negara dari cukai yang cukup tinggi akan hilang. Tapi, apakah alasan tersebut hanya sekedar guyonan tanpa arti ? Sebenarnya alasan tersebut tidaklah terlalu salah. Bagaimana tidak ? Ratusan orang sekarang menggantungkan hidupnya dari rokok, jutaan petani tembakau, jutaan buruh pabrik rokok, para penjual kios rokok, sampai pada pedagang asongan di setiap terminal. Penerimaan cukai rokok telah mengisi hampir 5% pendapatan negara. Kalau begitu, tembakau dan rokok tidak layak untuk dihentikan atau bahkan untuk dihambat ?

Di pihak lain, dunia kesehatan telah mengklaim bahwa biaya yang dikeluarkan untuk menanggulangi masalah kesehatan akibat merokok jauh lebih besar dibanding dengan apa yang telah diperoleh dari industri tembakau dan rokok. Konon, di Amerika Serikat, biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan medis akibat langsung dari rokok adalah sekitar $75 milyard. Akibatnya, polemik soal rokok belum berhenti sampai sekarang. Bahkan Fatwa MUI untuk mengharamkan rokok akhirnya "hanya" dibatasi untuk ibu hamil, anak-anak, dan merokok di tempat umum.

Menurut saya, sebetulnya terdapat 2 hal yang cukup memberatkan proses penghentian industri rokok. Yang pertama, bahwa pemerintah sangat tidak siap dengan peyediaan lapangan kerja pengganti bagi buruh pabrik, petani tembakau, dan para pedagang rokok, sebagai konsekuensi penghentian operasi pabrik rokok (apabila ingin dihentikan). Pabrik rokok rakyat (konvensional) saja rata-rata mempekerjakan buruh paling kurang sebanyak 70 orang. Yang kedua, tekanan "politis" dari pengusaha industri rokok besar cukup signifikan karena barangkali regulasi pengendalian industri rokok belum dapat didukung secara yuridis.

Dari sisi konsumen sebenarnya tidak akan terlalu bermasalah karena sifat kecanduan nikotin hanyalah sesaat dan lebih cenderung karena faktor psikologis, walaupun perokok sudah biasa mengorbankan kepentingan lainnya untuk tetap mendapatkan rokok. Dari sisi petani ? Beberapa survey analisis menyatakan bahwa tekanan tengkulak tembakau dan standarisasi harga tembakau dari pabrikan menyebabkan pendapatan petani tembakau cukup rendah. Dalam 1 ha (hektar) lahan, petani tembakau hanya memperoleh keuntungan bersih sekitar 4 juta rupiah saja untuk masa tanam 4 bulan (thn 2009), jauh lebih rendah dari pendapatan petani padi sawah atau jagung hibrida yang dapat memperoleh keuntungan bersih di atas 7 juta rupiah perhektar untuk waktu tanam yang sama.

Jadi, sebenarnya pengendalian industri rokok tidaklah sesulit seperti yang dipolemikan saat ini. Akan tetapi, fatwa MUI, pembatasan ruang bagi perokok, kenaikan cukai rokok, bahkan sistem denda bagi perokok sembarangan tidak akan bisa menghentikan perkembangan rokok. Berapapun harga rokok, kosumen rokok tetap tinggi. Pembatasan ruang bagi perokok atau denda ? Lihat saja uji coba di bandara Soekarno-Hatta dan tempat-tempat lainnya di Jakarta beberapa tahun yang lalu. Pelanggaran larangan merokok cukup tinggi, bahkan cenderung menimbulkan konflik antara perokok dengan petugas. Lantas bagaimana caranya ? Satu saja yang harus diperhatikan bahwa keterlibatan rokok dalam kehidupan masyarakat kita cukup lebar, dari orang desa sampai pejabat dan dari petani, buruh, dan pedagang asongan sampai pengusaha kaya.Oleh karena itu, pengendalian masalah rokok harus melibatkan semua unsur ini. Akan tetapi harus diingat pula, kalau tidak ada nasi orang akan makan jagung, kalau tidak ada kopi teh manis pun jadi, dan lain sebagainya. Sehingga kesimpulannya, kalau tidak ada rokok ya tidak ada penjual rokok dan tidak ada perokok.

Ada 2 hal esensial yang dapat disarankan dalam pengendalian perkembangan rokok di Indonesia, yaitu :
  1. Pengalihan industri rokok ke sektor industri lainnya secara bertahap yang diperkuat dengan regulasi yang bijak disertai pembinaan secara menyeluruh agar secara bertahap namun pasti pengusaha rokok mau dan dapat melakukan diversifikasi komoditas usahanya minimal dengan skala yang sama untuk melindungi karyawan atau buruhnya dan profitabilitasnya. Regulasi yang dimaksud tentu saja harus kuat dan terintegrasi dalam suatu program "penghentian" industri rokok. Misalnya saja regulasi tersebut menetapkan bahwa pengusaha rokok harus mengalihkan jenis produknya dalam kurun waktu 1 atau 2 tahun, sehingga dalam kurun waktu tersebut, pengusaha tersebut dapat menentukan komoditas lain yang menguntungkan, melakukan pembinaan manajerial secara bertahap atas perubahan produk termasuk pembinaan karyawan dan buruh, serta melakukan pembinaan pasar secara baik. Sementara itu, tingkat produksi rokoknya secara bertahap dikurangi sampai pengalihan komoditas secara total. Dengan demikian, program ini secara tegas dapat melindungi kepentingan pengusaha dan para karyawannya. Tentu saja tidak ada lagi ijin bagi pengusaha yang akan mendirikan pabrik rokok dalam semua skala (kecuali barangkali yang berorientasi ekspor secara total semisal ekspor daun tembakau Deli sebagai bahan cerutu).
  2. Perubahan pola tanam petani tembakau melalui program pembinaan secara menyeluruh, mulai dari bantuan permodalan, pembinaan usahatani, sampai kepada jaminan pemasaran hasil. Tentu saja sistem pembinaan akan harus berbeda karena adanya perbedaan jenis lahan. Terdapat 2 jenis lahan pertanaman tembakau di Indonesia, yaitu lahan kering (umumnya di dataran menengah sampai tinggi) dan pertanaman lahan sawah (di persawahan dataran rendah sebagai tanaman kedua). Tentunya sistem tanam dan budaya tanam di kedua tempat tersebut akan berbeda, sehingga perlakuan terhadap petaninya pun harus berbeda.
Kedua aksi tersebut tentunya harus ditangani oleh suatu "panitia khusus" yang mempunyai perangkat dan wewenang yang lengkap dari segi regulasi maupun sumber daya manusia dan anggaran.

Lantas bagaimana dari sisi konsumen ? Konsumen rokok tidak dapat "diusik" selama rokok itu ada dan konsumen rokok akan hilang dengan sendirinya seiring dengan hilangnya rokok. Paling-paling juga kembali seperti jaman dulu dimana rokok berupa tembakau lintingan yang harus digulung dulu menggunakan kertas khusus atau daun kawung (aren).

Akhirnya, pengendalian konsumsi rokok hanya dapat dilakukan apabila sumbernya dihentikan. Pengendalian terhadap perokok tidak akan menyelesaikan masalah, malah akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Tapi jangan pula mengorbankan petani tembakau atau buruh pabrik rokok yang pedapatannya sangat rendah.

Catatan tambahan : Ingin tahu seberapa besar bahaya merokok ? silahkan baca melalui tautan ini :
Rokok - Nikotin - Kesehatan

Tidak ada komentar: