Produk pertanian transgenik sampai sekarang masih menjadi polemik karena penelitian mendalam mengenai dampaknya secara menyeluruh belum mendapatkan kesimpulan yang pasti dan terekomendasi oleh badan yang berwenang. Sementara itu, produk pertanian transgenik terus berkembang dengan label aman konsumsi.
Berikut pendapat ahli transgenik yang dilaporkan dalam tempointeraktif.com :
Kamis, 20 Agustus 2009 | 09:28 WIB
Menurut Kepala Bidang Penelitian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Ilyani S. Andang, sebagian besar produk kedelai yang diimpor Indonesia adalah produk transgenik. Ilyani mencatat bahwa 60 persen perdagangan pangan transgenik di dunia saat ini didominasi komoditas kedelai, sedangkan produk seperti jagung dan kapas secara berurutan sebesar 23 persen dan 11 persen. "Keamanan produk transgenik masih dipertanyakan," ujarnya saat menyajikan presentasi dalam Diskusi Polemik Transgenik di Sekretariat Lembaga Swadaya Masyarakat Satu Dunia, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
Lalu apa itu produk transgenik? Ketua Program Studi S2 Bioteknologi Tanah dan Lingkungan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Dr Ir Dwi Andreas Santosa menjelaskan, produk transgenik adalah produk yang berasal dari organisme hasil rekayasa genetik. Produk tersebut bisa berupa pangan yang berasal dari tanaman transgenik atau enzim yang berasal dari mikroba transgenik.
Kemudian organisme transgenik adalah organisme yang telah disisipi gen yang berasal dari organisme lain. Misalnya tanaman kedelai Bt transgenik, yaitu tanaman kedelai yang melalui proses rekayasa genetik yang memiliki gen penghasil pestisida dari bakteri Bacillus thuringiensis. Menurut Andreas, dari hasil kajiannya pada 2001-2009, semua tempe dan tahu serta sebagian besar susu kedelai adalah produk transgenik.
Soal keamanannya, pria pembuat tebu transgenik PS-IPB 1 ini menyatakan masyarakat tidak perlu risau. Setiap produk transgenik, sebelum ditanam dalam skala komersial, seperti di Amerika, sudah lolos uji keamanan pangan. Artinya, produk tersebut aman untuk dikonsumsi manusia. Sepanjang yang dia tahu, seluruh produk transgenik yang dikonsumsi masyarakat sudah melalui proses uji keamanan pangan di negara produsennya. "Meski belum tahu juga jika dikonsumsi dalam jangka panjang dan dalam jumlah banyak, " ujarnya dalam kesempatan terpisah.
Ilyani mengungkapkan, sebuah studi di Inggris menemukan bahwa pangan transgenik itu ternyata bisa menyebabkan manusia menjadi alergi. Dalam makalahnya, dia melihat produk transgenik juga bisa menyebabkan transfer penanda antibiotik dan efek potensial lain pada manusia yang tidak diketahui. Malah, dari beberapa literatur yang dia dapat, tercatat produk transgenik mengakibatkan kanker dan kematian pada tikus percobaan. "Belum lagi dampaknya pada lingkungan," perempuan berjilbab ini menjelaskan.
Masalah lain, produk transgenik belum pernah diuji keamanannya dan tidak diberi label oleh otoritas pengawas makanan di Indonesia. Karena itu, alumnus teknologi lingkungan Institut Teknologi Bandung ini mengimbau masyarakat memilih produk kedelai dalam negeri saja, dengan menilik banyaknya negara Eropa yang menolak hasil budidaya pangan transgenik. "Negara di Eropa dan Jepang telah memberi label produk transgenik," tutur Ilyani.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), seperti dikatakan Kepala Subdirektorat Pengawasan Penandaan dan Promosi Produk Terapeutik dan Produk Kesehatan Rumah Tangga BPOM Tuning Nina, belum memutuskan untuk berbuat apa pun. Pada intinya, menurut dia, sampai kini status keamanan produk tersebut belum jelas alias masih labil. "Ada pengkajiannya, namun sampai sejauh apa dan bagaimana, saya belum tahu. Tanyakan saja kepada yang menangani di BPOM," katanya.
Sesungguhnya badan tertinggi di Indonesia yang mengawasi dan mengatur tentang produk transgenik adalah Komisi Keamanan Hayati yang dibentuk oleh negara. Sayangnya, komisi tersebut hingga kini (usianya telah mencapai tiga tahun) belum juga disahkan presiden. Di dunia, ada dua lembaga internasional yang mengatur secara umum mengenai produk transgenik ini, yaitu World Health Organization dan Food and Agriculture Organization. Menurut Andreas, yang banyak mendalami isu-isu mengenai pangan transgenik, kedua lembaga internasional tersebut menganut konsep substantial equivalent. Artinya, pengujian dan pengaturan diserahkan kepada negara produsen masing-masing yang sesuai dengan standar ilmiah yang sudah disepakati.
Lebih dalam, temuan Yayasan Satu Dunia mencatat, pada 2000 sebanyak 90 organisasi masyarakat menggugat Badan Pangan dan Obat (FDA) Amerika Serikat karena badan itu menyembunyikan dokumen tentang efek samping serta kematian yang berkaitan dengan penggunaan hewan transgenik. Malah, menurut Firdaus Cahyadi, aktivis Yayasan Satu Dunia, ada upaya penghalusan istilah kata untuk mengganti istilah rekayasa genetik menjadi modifikasi. Sebab, istilah rekayasa terdengar kurang ramah dan menakutkan.
Di negara lain, seperti Austria, 1,2 juta orang mewakili 20 persen pemilih menandatangani petisi untuk melarang peredaran pangan hasil rekayasa genetik. Sementara itu, di Jerman, sebanyak 95 persen konsumen menolak makanan transgenik. Lantas bagaimana dengan Indonesia?
Sederet Kontroversi Produk Transgenik
- Dampak terhadap kesehatan manusia: alergi, transfer penanda antibiotik, dan efek potensial yang tidak diketahui.
- Dampak pada lingkungan: transfer gen yang tidak dikehendaki, penyerbukan silang, efek pada mikroba tanah, serta penyusutan keanekaragaman hayati flora dan fauna.
- Pelanggaran nilai intrinsik organisme alami.
- Melawan sistem alamiah karena mencampurkan gen berbagai spesies.
- Dominasi produksi pangan dunia oleh beberapa perusahaan.
HERU TRIYONO
Sementara itu, Prof Dr Ali Khomsan Dosen Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga IPB memberikan opini ilmiahnya sebagai berikut :
Dampak Gizi dan Kesehatan pada Pangan Transgenik
Selama beberapa abad, variasi konsumsi pangan manusia terus mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan teknologi. Pemuliaan tanaman dengan cara tradisional, teknik mutasi, dan rekombinan DNA telah dilakukan untuk meningkatkan mutu gizi dan menghasilkan sifat-sifat tanaman tertentu yang dikehendaki. Tiga puluh tahun yang lalu, cara pemuliaan telah dipraktikkan untuk menghilangkan kandungan asam lemak yang tak diinginkan, yaitu erucic acid pada tanaman canola. Akhirnya, diperoleh minyak canola yang mempunyai profil asam lemak yang lebih baik.
Semakin meningkatnya gairah untuk menghasilkan pangan fungsional yang berguna untuk kesehatan akan semakin mendorong perkembangan teknologi rekayasa genetik. Modifikasi genetik pada tanaman kini sudah mengarah pada tanaman-tanaman pangan. Perubahan karakteristik gizi tanaman yang mungkin terjadi akan berdampak pada kesehatan masyarakat. Sebagai contoh, kini telah dapat dihasilkan kentang yang mengandung kadar pati lebih tinggi, mempunyai kemampuan menyerap lemak yang lebih rendah, dan tekstur yang baik. Di masa-masa mendatang mungkin akan semakin banyak bermunculan pangan rekayasa genetika yang memang diciptakan untuk membantu mengatasi sebagian masalah kesehatan masyarakat.
Varietas padi yang telah mengalami modifikasi genetik akan menghasilkan beras yang mengandung beta-karoten. Defisiensi vitamin A di negara-negara sedang berkembang masih menjadi masalah gizi utama. Oleh sebab itu, dikembangkannya beras kaya beta-karoten akan mempercepat pemulihan kondisi kurang gizi yang diderita masyarakat. Kedelai sebagai bahan baku minyak goreng direkayasa sehingga kandungan lemak jenuhnya menjadi lebih rendah dan meningkat kandungan lemak tak jenuhnya, terutama asam lemak oleat. Karakteristik gizi yang lebih baik ini akan bermanfaat untuk menangkal risiko kolesterol tinggi atau penyakit jantung koroner. Jadi, dalam hal ini peran kedelai sebagai bahan baku pangan fungsional semakin meningkat.
Upaya menghasilkan beras transgenik yang rendah glutelin ternyata pada saat bersamaan memunculkan karateristik lain, yaitu meningkatnya kandungan prolamin. Rendahnya glutelin berdampak positip pada protein yang tersimpan pada beras (rice protein storage). Namun, meningkatnya prolamin akan mengakibatkan perubahan kualitas gizi dan bahaya alergi bagi siapa pun yang mengonsumsinya.
Tampaknya, jalan yang harus ditempuh oleh pangan transgenik untuk sepenuhnya bisa diterima oleh masyarakat masih relatif panjang. Upaya untuk memperbaiki mutu gizi pangan melalui modifikasi genetik seyogianya harus meminimumkan kemungkinan munculnya zat gizi/nongizi lain yang tidak dikehendaki. Kalau saat ini telah dapat dihasilkan kedelai kaya lysine (salah satu asam amino esensial), maka ternyata dampak ikutannya adalah kadar lemak kedelai menjadi turun. Hal ini jelas tidak dikehendaki, apabila maksud dikembangkannya tanaman kedelai adalah sebagai bahan baku minyak goreng. Demikian pula beras kaya beta-karoten, menghasilkan karakteristik ikutan berupa meningkatnya xantophyll.
Perubahan komposisi gizi ini hendaknya diperhatikan oleh negara-negara yang akan mengizinkan masuknya pangan transgenik. Diperlukan kesiapan perangkat lunak dan perangkat keras untuk menguji keamanan pangan dan dampak kesehatan yang mungkin muncul akibat membanjirnya pangan rekayasa genetika di masa-masa yang akan datang.
Untuk mengetahui perubahan karateristik kimiawi yang terjadi pada pangan transgenik diperlukan alat deteksi gizi yang canggih. Pada kasus beras rendah glutelin, meningkatnya kadar prolamin yang tidak dikehendaki sulit dideteksi dengan analisis gizi biasa, seperti yang digunakan untuk mengetahui kandungan protein total dan profil asam amino.
Prolamin baru akan kelihatan bila dianalisis dengan SDS gel electrophoresis. Sementara, munculnya xantophyll pada beras kaya beta-karoten bisa dideteksi dengan analisis HPLC. Jadi, penting untuk diperhatikan bahwa analisis gizi yang tepat diperlukan untuk mendeteksi perubahan-perubahan yang tidak diharapkan pada pangan transgenik.
Dengan menyadari kemungkinan berubahnya susunan gizi pada pangan transgenik, maka hal ini akan berdampak pada status gizi dan kesehatan masyarakat. Dampak yang pertama, terkait dengan terjadinya perubahan zat gizi yang dikehendaki pada pangan rekayasa genetika. Yang kedua, berhubungan dengan masalah munculnya/meningkatnya komponen kimiawi lain yang tidak dikehendaki sebagai akibat ikutan dilakukannya modifikasi genetik. Untuk itu diperlukan ahli toksikologi dan ahli gizi untuk mengevaluasi potensi gangguan kesehatan yang mungkin muncul apabila seseorang mengonsumsi pangan transgenik.
Mungkin sekali bahwa perubahan kadar gizi ini bukan hanya akibat proses rekayasa genetik, tetapi juga akibat proses pemuliaan tanaman secara konvensional, seperti ketika kita menghasilkan semangka tanpa biji. Pada intinya, kemajuan teknologi mungkin tidak bisa dihambat, namun yang lebih penting dan lebih bijaksana adalah pemanfaatan teknologi tinggi ini jangan sampai membahayakan masyarakat.
Konsumen perlu menyadari bahwa pangan transgenik, yang mempunyai kandungan gizi berbeda dengan pangan nontransgenik, akan ikut menentukan status gizi seseorang. Dengan rekayasa genetik dapat dihasilkan kedelai dengan kandungan asam lemak oleat 80-90 persen. Selama ini kita mengenal sumber oleat yang tinggi adalah zaitun (70%). Selanjutnya, kedelai menjadi bahan baku pangan sehari-hari, misalnya untuk industri minyak goreng, tahu, dan tempe. Hal ini memunculkan pertanyaan, adakah kemungkinan masyarakat konsumen kedelai akan mengonsumsi gizi oleat secara berlebihan? Mungkin sekali pola makan masyarakat tidak berubah, namun dengan dikenalkannya produk pangan transgenik, maka komposisi gizi yang masuk ke dalam tubuhnya sudah berubah.
Mengingat teknologi modifikasi genetik masih relatif baru, maka hasil-hasil temuannya memunculkan pro-kontra di mana-mana. Pendukung dan penentangnya mungkin sama banyaknya. Yang penting adalah bahwa riset-riset harus tetap diteruskan agar hasil teknologi baru ini bisa bermanfaat bagi umat manusia. Meningkatnya kandungan gizi pada produk transgenik tidak begitu saja dapat dipakai sebagai tolok ukur keberhasilan. Ada pertanyaan yang masih harus dijawab menyangkut bagaimana bioavalibilitas zat gizi pada pangan transgenik. Apakah zat gizi tersebut tetap stabil seiring dengan berjalannya waktu akibat penyimpanan dan pemrosesan?
Dampak kesehatan berupa munculnya alergi sering disinggung dalam pembahasan pangan transgenik. Dalam kasus tanaman kedelai yang tahan glyphosate (herbisida), maka sebenarnya yang dilakukan adalah memasukkan protein baru (atau enzim). Datangnya protein baru ini berpotensi untuk menyebabkan alergi. Pernah dilakukan penelitian untuk membandingkan respons alergi pada konsumen pangan yang dibiakkan secara tradisional dan pangan transgenik. Hasilnya menunjukkan bahwa pangan transgenik mengakibatkan insiden alergi yang lebih tinggi.
Mereka yang membela pengembangan pangan transgenik tidak kalah banyak jumlahnya. Pernyataan mereka juga mempunyai landasan ilmiah. Dikatakan bahwa kita setiap hari terekspos dengan DNA (pembawa sifat pada gen) asing yang berasal dari makanan yang kita konsumsi, dan dari mikroorganisme di sekitar lingkungan kita. DNA bukanlah substansi kimiawi yang bersifat racun.
Kekhawatiran bahwa DNA dari pangan transgenik akan masuk ke dalam sel manusia, mungkin terjadi dan mungkin juga tidak. Hal ini dilandasi oleh pakta bahwa saluran cerna manusia merupakan sistem yang efisien. DNA yang masuk ke saluran cerna segera dipecah-pecah sehingga menjadi bagian yang sangat kecil dan sulit untuk difungsikan kembali. Dengan demikian, DNA diperkirakan tidak akan masuk ke dalam sel manusia, meski pecahan-pecahan DNA tadi mungkin diserap oleh bakteri di saluran cerna. Tikus percobaan yang diberi DNA bebas (diperoleh dari bacteriophages) memang menyebabkan terjadinya transfer DNA pada sel tikus. Akan tetapi, apabila DNA tersebut berasal dari makanan, tampaknya belum ada bukti yang cukup yang menyatakan terjadinya transfer DNA.
Deteksi bahwa pangan transgenik akan menyebabkan penyakit kronis (kanker, hipertensi, penyakit jantung koroner) perlu dilakukan untuk menjamin bahwa konsumen tidak semakin menghadapi risiko kesehatan yang tidak diinginkan. Pendukung pangan transgenik mempunyai alasan bahwa transfer gen dari produk pangan transgenik ke sel manusia adalah sulit, maka kemungkinan pangan transgenik ini menjadi penyebab penyakit kronis adalah kecil.
Publikasi FAO/WHO (2000), antara lain menyimpulkan bahwa masalah yang mungkin muncul dari dampak jangka panjang konsumsi pangan yang dimodifikasi gennya, masih sangat sedikit diketahui. Oleh sebab itu, tepat kiranya kalau pemerintah harus bersiap diri merumuskan kebijakan yang tidak sekadar melarang atau membolehkan masuknya pangan transgenik. Diperlukan pula alasan-alasan ilmiah yang valid yang melandasi dikeluarkannya suatu kebijakan menyangkut pangan transgenik ini.
Di lain pihak, industri yang berkecimpung dalam teknologi rekayasa genetik juga dituntut kejujurannya serta tanggung jawab moral yang tinggi untuk menghasilkan pangan yang aman bagi masyarakat.
Desain riset untuk membuktikan keamanan pangan produk transgenik harus dirancang secara baik, dan hasilnya dipublikasikan dalam jurnal ilmiah sebagai ajang pertukaran informasi ilmiah dengan ilmuwan lain yang mungkin mempunyai pandangan berbeda. Sosialisasi melalui media massa juga diperlukan agar semakin banyak masyarakat yang sadar bahwa hasil teknologi modifikasi genetik kini sudah ada di sekitarnya. Hal ini merupakan salah satu cara untuk membangun critical mass sehingga masyarakat konsumen dan produsen pangan transgenik mempunyai posisi tawar yang sederajat.