Laman

Minggu, 07 Februari 2010

Korupsi Penghalang Utama Pembangunan Pertanian di Indonesia

Seperti umumnya proses pembangunan di Indonesia, keterlambatan pembangunan pertanian di Indonesia tidak terlepas dari korupsi. Korupsi yang terjadi banyak sekali ragamnya dan terjadi merata disetiap sektor dan level jabatan. Sebagai contoh kecil saja, di level penyuluh, sudah bukan rahasia lagi cukup banyak penyuluh yang secara nakal membuat program demplot fiktif dengan bermodalkan papan kegiatan dan kamera. Jadi..., anggaran demplot hanya dibelanjakan untuk papan nama dan roll film, padahal laporan pertanggungjawabannya lengkap yang disertai nota dan tandatangan kelompok tani bahkan berstempel.

Di tingkat keproyekan, banyak sekali program bantuan hibah yang tidak 100% diterima petani pemanfaat. Alasan klasik selalu disampaikan pada petani bahwa pemotongan itu adalah untuk penanggulangan masalah administratif dan birokratif. Berhubung dana hibah, para petani terima saja pemotongan tersebut dengan alasan mereka tidak mengeluarkan biaya sedikitpun dan itu adalah hadiah. Akan tetapi..., akibatnya beberapa petani juga melakukan hal yang sama dalam mengalokasikan anggaran hibah tersebut untuk kepentingan pribadinya dengan alasan sebagai biaya service tamu. Akhirnya, sasaran program sama sekali tidak tercapai.



Bagi para pejabat di daerah yang notabene adalah seorang pegawai negeri dengan gaji yang minim dibanding kebutuhan hidup yang layak, korupsi awalnya merupakan cara bagaimana mempertahankan posisinya dengan memberikan pelayanan lebih pada pejabat diatasnya, "para tamu dari Jakarta", dan sejumlah pelayanan yang terpaksa harus mereka lakukan. "Untuk keperluan anak istri saja, gaji tidak cukup, apalagi kalau harus dibagi untuk menjamu makan malam tamu dinas ?" Begitu kira-kira kilah para pejabat di daerah.

Apa itu korupsi ?

Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
  • perbuatan melawan hukum;
  • penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
  • memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
  • merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya:
  • memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
  • penggelapan dalam jabatan;
  • pemerasan dalam jabatan;
  • ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
  • menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
(http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi)

Secara umum korupsi juga dapat diartikan sebagai penggunaan uang atau dana yang dikuasakan kepada seseorang yang menyimpang dari ketentuan peruntukannya, baik digunakan untuk kepentingan pribadi maupun golongan. Intinya adalah penyimpangan dari penggunaan dana tersebut. (baca : Definisi Korupsi)

Apa akibat dari korupsi ?

Secara umum, korupsi selalu dikaitkan dengan kerugian negara, baik langsung maupun potensial (dalam hal karena kerugian dapat dicegah sebelum terjadi). Sebenarnya korupsi lebih kepada merugikan masyarakat banyak, terutama masyarakat kecil yang sebagian besar adalah petani, para penyokong ketersediaan pangan orang-orang besar. Apa sebenarnya kerugian yang diderita petani dengan merajalelanya korupsi ?

Sedikit ulasan mengenai sebuah proyek dengan skema dana bantuan hibah (sumber dana itu sendiri berasal dari pinjaman luar negeri yang harus dikembalikan). Mungkin lebih dari seribu desa telah menerima dana hibah tersebut yang harus mereka gunakan untuk pengembangan pertanian, baik dalam bentuk sarana fisik yang meningkatkan produksi maupun sarana dan prasarana peningkatan keterampilan. Setiap desa menerima dana lebih dari 200 juta yang dibayarkan dalam beberapa tahap. Dalam ketentuan hibah juga telah disyaratkan adanya dana pendamping berupa swadaya masyarakat sebesar minimal 20%, baik berupa dana, tenaga, maupun barang investasi seperti lahan.

Realisasi pembayaran dan penggunaan dana berjalan sesuai prosedur yang telah diatur dengan pengamanan administrasi sedemikian rupa sehingga para petani (kelompok tani) menerima dana tersebut tanpa melalui tangan ketiga, dilakukan antar bank. Apa lacur, dengan berbagai alasan, kelompok tani penerima "disarankan" untuk menyumbang paling sedikit 10% untuk menunjang operasional proyek yang pertanggungjawabannya dituangkan dalam laporan pembelanjaan sesuai rencana alokasi. Disini, para ketua kelompok tani telah mendapatkan pembelajaran bagaimana melaksanakna korupsi yang bersih. Beberapa kelompok menerima pembelajaran tersebut dengan baik, sehingga mereka mulai berani membuat nota belanja palsu untuk kepentingan dirinya sendiri. Dana swadaya yang disyaratkan sebesar 20% pun banyak yang disamarkan, ujung-ujungnya sebenarnya biaya murni dari dana hibah tersebut, kecuali dalam bentuk tenaga atau lahan yang tidak dibayar. Akhirnya, persentase korupsi yang terjadi telah meningkat menjadi 20% !.

"Kita ini hanya rakyat kecil, melipat dana sebesar ini sih tidak seberapa. Bandingkan dengan korupsi para pejabat, yang kita ambil sedikit sekali. Kita juga ingin dong hidup lebih layak, mumpung ada kesempatan" (begitu kira-kira bahasa para koruptor kecil di tingkat masyarakat).

Hal tersebut telah menimbulkan beberapa penyelewengan teknis seperti :
  1. Kualitas ataupun kuantitas barang pengadaan telah dikurangi (misalnya kualitas bibit kambing, jumlah pupuk ataupun pestisida, atau juga kualitas tutorial pelatih dan jumlah jam pelatihannya)
  2. Kinerja masyarakat yang terlibat menjadi rendah karena ketidakpercayaan kepada pengurus kelompok tani dan aparat instansiyang terlibat (skeptimisme)
  3. Setelah proyek selesai, animo masyarakat untuk memelihara sarana dan atau prasarana menjadi rendah terutama apabila memerlukan tambahan dana swadaya.
  4. Pada akhirnya manfaat proyek hanya bertahan 1 atau 2 tahun saja, setelah rusak tidak ada masyarakat yang cukup perduli untuk memperbaikinya dan system pemanfaatan sarana/prasarana kebali seperti sebelum ada proyek (hal ini terutama terjadi pada proyek yang membangun sarana fisik).
Pada akhirnya, negara dan masyarakat telah dirugikan milyaran rupiah karena faktor manfaat proyek sangat jauh dari tingkat kelayakan proyek itu sendiri seperti yang tertuang dalam perencanaan sebelumnya.

Contoh tersebut di atas hanyalah sekelumit fenomena yang terjadi di tingkat lapangan. Masih banyak modus-modus lainnya yang sama-sama telah menggerogoti uang negara dan masyarakat (bayangkan bahwa dana itu sebagian besar berasal dari utang luar negeri !! sudah tidak bermanfaat, negara harus mencicil pengembalian utang beserta bunganya, padahal proses persetujuan dana utang itu sendiri "biasanya" memerlukan biaya yang tidak sedikit pula karena adanya praktik gratifikasi terhadap pejabat penentu persetujuan).

TIDAK PERLU HERAN BAHWA SAMPAI KAPANPUN, PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DI INDONESIA TERCINTA INI HANYA TERLAKSANA SECARA MERANGKAK.

Apa sebetulnya yang menjadi kelemahan dalam system yang korup ini ? Fungsi kontrol. Yang bisa kita lihat di lapangan, fungsi kontrol inilah yang sangat memberikan peluang terjadinya korupsi, baik kontrol sosial, teknis, maupun kelembagaan (organisasi pelaksana system kontrol itu sendiri). Kelemahan terjadi pada semua sektor fungsi pengawasan, baik personil maupun perangkat bantunya.

Kita hanya bisa berharap, para petani kita terus berjuang dengan kondisi super prihatin ini, untuk terus mengembangkan potensi dirinya, paling tidak demi kesejahteraan diri dan keluarganya. Jangan sampai para petani kita ikut ikutan melakukan korupsi karena dengan korupsi, tujuan kesejahteraan jangka panjang tinggal harapan. Manfaatkan dana yang diberikan pemerintah dengan cara yang optimal dengan mengingat bahwa dana tersebut berasal dari utang yang harus dibayar kembali oleh seluruh rakyat.
.
.

    Tidak ada komentar: