Kamis, tanggal 22 Oktober 2009 lalu, susunan kabinet pemerintahan Indonesia telah ditetapkan. Ini merupakan kabinet ke-13 sejak kemerdekaan, 64 tahun lalu. Puluhan program pengembangan pertanian telah bergulir. Bimas-Inmas, Intensifikasi-Ekstensifikasi, dan sampai saat ini melalui pengembangan 10.000 desa melalui PUAP yang baru digulirkan sejak awal 2008 yang terintegrasi dalam program PNPM-Mandiri.
Dalam bidang pertanian, kemajuan apa yang telah diperoleh Indonesia selama 64 tahun merdeka ? Tentu saja, kalau dihitung banyak prestasi di bidang pertanian yang patut dibanggakan. Kita telah berhasil mencapai swasembada pangan (beras) sebanyak 2 kali, pada zaman pemerintahan Soeharto (1984) dan terakhir tahun 2008 kemarin dimana pemerintahan dikomandoi SBY dengan Kabinet Indonesia Bersatu-nya.
Apakah 2 kali swasembada beras merupakan prestasi yang luar biasa dalam pembangunan pertanian secara keseluruhan ? Mari kita tanyakan pada para petani gurem kita yang jumlahnya masih puluhan juta orang. Bagaimana kesejahteraan mereka ? Mungkin pendapatan mereka bertambah secara finansial, tapi secara ekonomi jelas mereka semakin terpuruk dengan peningkatan kebutuhan hidup yang jauh lebih cepat beranjak daripada peningkatan pendapatan mereka. Sudah triliunan rupiah dana yang dikeluarkan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui Departemen Pertanian maupun PU. Bahkan tragisnya, dana sebesar itu sebagian besar berasal dari pinjaman luar negeri yang harus dibayar dari pendapatan negara atau lebih jelasnya oleh seluruh rakyat Indonesia.
Ada apa sebenarnya dengan program pembangunan pertanian kita ? Ada beberapa hal mendasar yang sangat ”mengganggu” percepatan pembangunan pertanian yang secara umum juga berlaku bagi pembangunan sektor lainnya, yaitu :
- Budaya korupsi yang ”terlalu” besar yang sangat tidak seimbang dengan kualitas pembangunan itu sendiri. Bagaimanapun juga, korupsi mustahil untuk diberantas. Akan tetapi apabila sangat berpengaruh terhadap kualitas kinerja proyek-proyek pembangunan, maka korupsi itu merupakan virus yang sangat mematikan. Budaya korupsi juga telah mematikan moral para pelaku pembangunan, mulai dari tingkat pengambil kebijakan sampai kepada tingkat pelaksana di lapangan.
- Lemahnya koordinasi antar departemen, antar instansi, dinas, sampai satuan kerja menyebabkan putusnya program, pembengkakan anggaran, dan akhirnya menghilangkan manfaat dari program yang dijalankan. Hasil-hasil penelitian banyak yang terkubur sehingga tidak berkelanjutan, apalagi dimanfaatkan dalam bentuk aplikasi inovasi di tingkat lapangan. Salah satu penyebab dari lemahnya koordinasi ini, selain moral korup yang sangat rawan, juga terkait dengan lemahnya quality control system yang dijalankan sebagai salah satu komponen manajemen yang paling penting. Apakah ini sengaja dibuat seperti itu untuk memudahkan perilaku korupsi atau karena kemampuan yang memang terbatas ?
- SDM ? Terlalu banyak SDM dengan titel pendidikan yang "terlalu" tinggi untuk dikatakan lemah. Namun apabila kita lihat produk yang dihasilkannya ternyata banyak sekali yang "tidak dapat diterapkan" di tingkat lapangan. Masih terlalu banyak laporan kerja yang bersifat "ABS = Asal Bapak Senang" (istilah jaman Pak Harto yang sekarang sudah jarang digunakan lagi) dengan data marked up. Laporan ABS inilah yang secara langsung telah "menipu" para penentu kebijakan yang dengan "senang hati" menerima laporan seperti ini, sehingga feedback-nya mengeluarkan kebijakan yang jauh dari harapan masyarakat. Penyebabnya ? Korupsi dan lemahnya quality control dan disertai dengan sistem pendidikan yang terlalu mudah bagi para pegawai pemerintah untuk mendapatkan titel.
Lantas bagaimana dengan rpogram pembangunan pada era Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II nanti ? Pada jilid I dengan komando Dr. Ir. Anton Apriyantono, MS. yang memiliki keakhlian Kimia Pangan, selama 5 tahun Departemen Pertanian berjuang untuk mewujudkan swasembada pangan yang akhirnya tercapai pada tahun ke-4 (2008). Lantas bagaimana manufer yang akan dilakukan oleh komando baru pada jilid II ini ? Dengan komando baru yang berasal dari partai yang sama, Ir. Suswono, M.MA, pembangunan pertanian akan dilaksanakan dengan pola yang "mirip" dengan pendahulunya, terutama dalam rangka mempertahankan swasembada pangan.
Ada 10 poin yang diminta oleh SBY kepada mentan baru, yaitu :
- Setiap daerah mempunyai keunggulan masing-masing. Keunggulan tersebut diharapkan dapat mewujudkan ketahanan pangan nasional (inisiasi lokal).
- Di samping itu, Deptan juga diharapkan dapat mempertahankan swasembada beras nasional. Caranya yakni dengan meningkatkan produksi beras.
- Saat ini rata-rata produksi beras dalam negeri 5 ton per hektar. Ke depan diharapkan setiap hektar mampu menghasilkan sedikitnya 10 ton.
- SBY juga berharap Deptan dapat memperbaiki infrastruktur pertanian, agar sektor ini dapat terus menggeliat serta menjadi pelaku utama pembangunan nasional.
- Berikutnya, Deptan diharapkan mampu meningkatkan nilai tukar petani, agar kesejahteraan petani mengalami peningkatan.
- Selanjutnya, Deptan diminta untuk membuat kebijakan yang melindungi petani dengan cara mewujudkan subsidi untuk pelaku usaha pertanian.
- "Presiden juga berharap agar ekspor dan impor tidak merugikan petani," katanya.
- Lemahnya produksi peternakan nasional juga mendapatkan perhatian khusus dari SBY. "Produksi peternakan harus digenjot," katanya.
- Yudhoyono juga mengharapkan agar Deptan mampu meningkatkan kerja sama dengan negara-negara sahabat atas dasar saling menguntungkan. Harapan terakhir SBY terhadap Deptan yaitu terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik
- Melanjutkan Dan Mengevaluasi (program yang sudah berjalan ?)
Sangat mulia poin-poin pokok di atas. Akan tetapi apakah itu semua termasuk perbaikan sistem dalam lingkup internal departemen sendiri ? Mampukah swasembada pangan dipertahankan selama 5 tahun mendatang ?
Mari kita tengok kembali program pertanian pada era Kabinet Indonesia Bersatu jilid II ini setelah 100 hari kerja pak Suswono.