Laman

Senin, 31 Oktober 2011

Pestisida Alami dan PHT

Hama juga bagian dari ekosistem
Masalah resurgensi hama wereng pada tanaman padi yang terjadi pada akhir dekade 70-an telah memberikan pelajaran berharga bagi pengembanagan pertanian di Indonesia. Pemakaian pestisida kimiawi secara terus menerus dan tidak terkendali hanya akan membuahkan masalah baru yang lebih besar. Selain polusi (pencemaran), baik terhadap lingkungan maupun produk pertanian itu sendiri, masalah yang sangat besar terjadi karena beberapa hama generasi selanjutnya mengalami perubahan genetis yang menyebabkan kekebalan terhadap jenis dan konsentrasi pestisida tertentu. Hal ini menyebabkan kejadian ledakan hama seperti pada populasi wereng dan belalang (walaupun ledakan hama juga dipicu oleh perubahan iklim yang ekstrim).

Atas kondisi tersebut, pemerintah menetapkan pengendalian hama terpadu (PHT) sebagai pedoman pengendalian hama nasional melalui Inpres No. 3 tahun 1986. Kebijakan ini juga diikuti dengan pengurangan subsidi secara bertahap pada pestisida dan pada Januari 1989 subsidi ini dihapuskan sama sekali. Tujuannya agar penggunaan pestisida kimia dapat berkurang di tingkat petani karena harganya yang mahal. Dengan demikian, petani akan menggunakan pestisida seefisien mungkin.


PHT bertujuan agar proses pengendalian OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) dilakukan secara bijaksana dengan menggunakan seluruh potensi yang ada dan tidak selalu bergantung pada pestisida. Pengendalian organisme pengganggu dilakukan dengan mempertimbangkan keseimbangan ekologi, karena bagaimanapun juga mereka mempunyai peran yang penting dalam kehidupan alami. Pertimbangan yang diambil dalam pelaksanaan PHT adalah faktor ekonomi/produktifitas, keseimbangan ekologi, dan pencemaran lingkungan.

Prinsip dasar dari PHT adalah pencegahan atau tindakan preventif dimana pengendalian telah dilakukan sejak sebelum tanam dan sebelum hama atau penyakit menyerang. Tindakan pencegahan yang dilakukan dalam suatu sistem budidaya diantaranya adalah sebagai berikut :
  1. Pemilihan jenis tanaman, yaitu memilih jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi lingkungan lahan, terutama kondisi tanah dan iklim. Suatu jenis tanaman yang kurang cocok dengan kondisi lingkungannya akan mengalami pertumbuhan yang optimal sehingga rentan terhadap serangan hama atau penyakit.
  2. Pemilihan varietas tanaman yang tahan terhadap hama atau penyakit tertentu. Beberapa varietas tanaman telah dikembangkan dengan kondisi genetis yang "tidak disukai" oleh hama atau penyakit (misalnya beberapa varietas padi baru yang tahan terhadap serangan wereng). Teknologi rekayasa genetik juga telah mengembangkan varietas-varietas yang dapat menangkal serangan hama atau penyakit walaupun beberapa diantaranya masih beresiko berpengaruh terhadap lingkungan global (misalnya kapas transgenik).
  3. Pemilihan bibit atau benih yang teruji kemurnian galur, kesehatan dan daya tumbuhnya sehingga menghasilkan tanaman yang sehat dan tahan terhadap serangan OPT.
  4. Pergiliran tanaman, dimana terjadi pemutusan penanaman jenis tanaman tertentu dalam kurun satu tahun. Hal ini sangat dianjurkan pada tanaman semusim seperti padi, dimana pemutusan pertanaman akan memutuskan rantai makanan OPT tertentu dalam kurun waktu paling tidak satu musim tanam. Dengan demikian diharapkan perkembangan OPT tertentu juga akan turut terputus.
  5. Pemeliharaan tanaman yang baik yang menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi optimal. Pemeliharaan tanaman ini mulai dari pengolahan tanah, cara penanaman, pemupukan, dan pemberian air. Tanaman yang sehat akan menciptakan struktur fisik tanaman yang kuat terhadap serangan OPT.
  6. Menjaga kebersihan lingkungan pertanaman dari serasah ataupun tumbuhan liar yang mungkin menjadi inang bagi OPT.
  7. Melindungi kelestarian musuh alami hama, misalnya burung, ular, beberapa jenis kumbang / serangga predator.
  8. Melakukan pengamatan perkembangan hama / penyakit. Pengamatan rutin / berkala mutlak diperlukan untuk menilai ada atau tidaknya serta besaran serangan OPT. Teknik ini berkaitan dengan "ambang ekonomi" suatu serangan OPT tertentu yang menentukan tindakan yang paling tepat, apakah cukup dengan tindakan manual ataukah sudah perlu pengendalian menggunakan pestisida.

Nilai Ambang Ekonomi

Nilai ambang ekonomi adalah populasi atau kondisi serangan OPT yang merupakan ambang kondisi yang sudah berpotensi merugikan bagi pertumbuhan dan hasil tanaman. Kondisi melebihi ambang ekonomi dinilai sebagai kondisi dimana perkembangan OPT sudah berpengaruh besar terhadap pertumbuhan normal tanaman dan OPT tersebut dalam keadaan optimum untuk berkembang lebih buruk. Oleh karena itu, pengendalian harus segera dilakukan pada saat OPT mencapai ambang ekonomi atau sebelumnya.

Pada kondisi ambang ekonomi inilah, pestisida dapat dianjurkan untuk digunakan dengan memperhatikan dosis dan konsentrasi larutan yang tepat sesuai anjuran. Hal ini dilakukan dengan tujuan efektivitas pengendalian dengan meminimalisir dampak lingkungan. Dengan demikian, tindakan pengendalian secara manual sangat dianjurkan apabila kondisi serangan masih dibawah ambang ekonomi. Tindakan manual yang dianjurkan diantaranya adalah :
  1. Menangkap dan memusnahkan hama yang dijumpai secara fisik. Misalnya untuk hama ulat dilakukan dengan mengumpulkannya dan membersihkan telur-telur yang menempel pada tanaman, untuk hama tikus dilakukan gropyokan.
  2. Untuk tanaman yang terkena penyakit dilakukan pembuangan bagian yang terserang atau mencabut dan memusnahkan tanaman yang sudah terserang. Bagian tanaman atau tanaman yang dipisahkan dikumpul dan dibakar agar tidak menular kepada tanaman yang masih sehat.
Contoh nilai ambang ekonomi pada beberapa hama dan tanaman tertentu adalah sebagai berikut :

Jenis Hama
Ambang Ekonomi
> 1 kelompok telur/m2 atau intensitas serangan rata-rata 10%
>  1 ekor / tanaman
Walang sangit pada padi
>  5 ekor/m2 pada tahap tanaman setelah berbunga
Ulat grayak pada padi
>  5 ekor/m2
Kutu daun (Myzus persicase) pada bawang merah
>  10 ekor nimfa/35 helai daun
Ulat grayak pada tanaman kubis
>  5 ekor ulat setiap 10 tanaman
Penggerek tongkol (Heliothis sp.) pada jagung
>  3 tongkol rusak / 30 tanaman (10%)
Ulay grayak pada cabai
>  2 ekor larva/tanaman
Thrips pada tomat
>  1 ekor / 6 tanaman
Penghisap daun (Empoasca sp.) pada kacang tanah
Intensitas serangan lebih dari 12,5%
Lalat Agromyza sp. Pada kacang panjang
Intensitas serangan lebih dari 1 %


Peran Pestisida Alami pada PHT

Seperti telah disebutkan di atas bahwa PHT bertujuan untuk mengurangi dampak negatif dari penggunaan pestisida kimia yang tidak terkendali. Resurgensi, turu musnahnya musuh alami OPT, dan residu kimia pada produk pertanian maupun lahan pertanian merupakan dampak yang saat ini sangat dirasakan akibatnya. Oleh karena itu, pengembangan penggunaan pestisida alami sangat mendukung pelaksanaan PHT. Karena pestisida alami bersifat mudah terurai, penggunaannya tidak menimbulkan residu, baik pada produk tanaman maupun tanah. Demikian pula tidak mempengaruhi organisme lain selain hama yang dikendalikan karena berspektrum rendah (spesifik efektif terhadap hama tertentu saja). Walaupun begitu, penggunaan yang berlebihan tetap saja dapat menimbulkan efek resurgensi pada hama tertentu.

Sebenarnya, penggunaan pestisida alami tidaklah sesulit yang dibayangkan. Produk pabrikan dari pestisida alami (terutama insektisida) sudah banyak di pasaran. Sebut saja salah satunya adalah Bactospeine WP yang sudah released sejak tahun 80-an. Jenis insektisida alami ini mengandung spora bakteri (Bacillus thuringiensis) yang merupakan pathogen dari berbagai jenis ulat. Jenis-jenis insektisida alami yang berbahan dasar tumbuhan juga sudah banyak beredar di pasaran dengan harga yang bersaing dengan insektisida kimia. Hanya saja, pengetahuan petani akan jenis pestisida alami ini memang masih kurang, sehingga seringkali terjadi kesalahan penggunaan yang menyebabkan kesalahpahaman akan efektivitas jenis pestisida ini. Sebagai contoh, pestisida alami memerlukan kondisi penyimpanan yang baik agar "keampuhannya" tidak berkurang, sedangkan para petani masih banyak yang menyimpan sisa pestisida di sembarang tempat. Akibatnya, pada saat penggunaan kedua, keampuhan pestisida ini berkurang, bahkan hilang sama sekali karena bahan organik yang ada dalam formulasinya sudah mengalami penguraian. Salah satu tempat yang dapat mempercepat penguraian bahan organik adalah ruangan yang terang terkena pantulan sinar matahari.


Yang jelas, pengembangan pestisida alami pada saat ini sudah merupakan tuntutan, baik tuntutan pasar , kesehatan konsumen, maupun kelestarian lingkungan. Oleh karena itu, kampanye pengembangannya harus terus disebarluaskan dan dikembangkan di tingkat petani dan juga masyarakat umum. Dengan berkembangnya penggunaan pestisida alami, petani mempunyai alternatif yang murah dan cepat dalam menyediakan pestisida saat dibutuhkan, produk pertanian semakin dipercaya tingkat kemanannya, dan lingkungan biotik dan abiotik di daerah pertanian dapat diharapkan berangsur membaik.



3 komentar:

Anonim mengatakan...

hii ngeri liat tuh ulet...pasti gatel2 klo nempel leher ,,hihhh

Unknown mengatakan...

kalo dipegang dengan lembut gak akan bikin gatel karena bulunya gak akan dia lepasin.

dia mengatakan...

artikel yang menarik dan bermanfaat, terimakasih dari jasa pembuatan website jogja barangkali berminat membuat website bisa menggubungi WA Kami 087820006535 atau Instagram kami @pusatwebsitejogja