Laman

Minggu, 28 Maret 2010

Masalah Yang Dihadapi Padi SRI

Pengembangan padi SRI (System of Rice Intensification) yang terkenal dengan motonya "More Rice with Less Water" atau hasil beras meningkat dengan penggunaan air yang lebih sedikit, sampai saat ini masih mengalami kendala teknis dan non-teknis di tingkat lapangan. Dengan melihat keistimewaan sistem ini, terutama dari segi produktifitas dan efisiensi pengairan (yang identik dengan potensi perluasan areal irigasi), beberapa perbaikan sistem harus dilakukan agar pengembangannya dapat dilaksanakan seluas-luasnya.

Mari kita lihat terlebih dahulu beberapa keistimewaan sistem SRI ini bagi pengembangan budidaya padi sawah :
  1. SRI hanya membutuhkan benih yang jauh lebih sedikit, yaitu 5 sampai 10 kg per-hektar yang berbanding 40 - 60 kg pada sistem konvensional. Hal ini akan mendorong petani untuk menggunakan benih padi unggul bersertifikat karena tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk membelinya.
  2. Produktifitas dengan sistem SRI telah terbukti secara signifikan meningkat dengan tingkat B/C ratio (perbandingan nilai hasil terhadap biaya) yang lebih baik dibanding sistem konvensional. Hal ini jelas akan meningkatkan pendapatan petani.
  3. Sistem pengairan yang intermitten / terputus sampai kondisi tanah kering meretak akan memperbaiki lingkungan mikro bagi tanah sehingga secara pasti akan memperbaiki kondisi tanah, baik fisik, kimia maupun biologi. Hal ini dapat dipercepat apabila pemupukannya menggunakan pupuk organik. Beberapa artikel penelitian membuktikan bahwa kandungan mikro organisme pada tanah yang ditanami padi SRI mengalami peningkatan kualitas. Tentu saja harus diperhatikan pula proses pengembalian serasah padi pada tanah asalnya.
  4. Penggunaan air yang jauh lebih sedikit dibanding dengan sistem konvensional akan memperbaiki efisiensi pengairan dan dengan demikian memiliki potensi bagi perluasan areal irigasi. Dengan demikian SRI sangat menunjang program ekstensifikasi areal irigasi yang merupakan sumber utama ketahanan pangan (terutama beras). Sampai saat ini, areal irigasi yang ada masih banyak yang belum mampu mengairi padi 100% pada musim tanam kedua (kemarau).

Sabtu, 27 Maret 2010

Pembangunan Pertanian Lahan Beririgasi

Sesuai pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi, pengelolaan sistem irigasi diselenggarakan melalui azas partisipatif, terpadu, berwawasan lingkungan hidup, transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Apa yang dimaksud dengan poin-poin tersebut ? Inilah kira-kira yang dimaksudkan dengan kaidah pengelolaan yang diharapkan dari peraturan tersebut :
  1. Partisipatif ; sudah saatnya semua pihak, baik unsur pemerintah maupun pemanfaat jaringan irigasi (petani / P3A) memiliki dan mewujudkan azas inisiatif guna mengelola dan memelihara jaringan irigasi demi kemanfaatan yang sebesar-besarnya. Disini, pola desentralisasi sangat diharapkan terutama pada areal-areal yang merupakan kewenangan daerah (Baca Pasal 16, 17, dan 18 PP 20/2006). Petani melalui P3A dan GP3A, diharapkan memiliki inisisatif swadaya ataupun swakelola dalam melestarikan kedayagunaan jaringan irigasi, sementara pemerintah sesuai daerah kewenangannya bertanggungjawab untuk mendukung inisiatif yang muncul dari petani.
  2. Terpadu ; keterpaduan yang dimaksud bukan hanya pada proses pemeliharaan pelestarian jaringan, akan tetapi lebih diutamakan pada pemanfaatan yang sebesar-besarnya untuk meningkatkan kesejahteraan petani lahan beririgasi yang pada akhirnya mewujudkan ketahanan pangan yang solid. Disini, dituntut koordinasi dan konsolidasi program antara 4 pemangku kepentingan pembangunan lahan beririgasi, yaitu Petani (P3A), PU Pengairan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, dan Bappeda sebagai motor pembangunan daerah. Keterpaduan bukan hanya dari segi pemanfaatan, akan tetapi juga dari segi pembiayaan operasional dan pemeliharaan.
  3. Berwawasan lingkungan ; dimaksudkan sebagai pemenuhan azas kelestarian pemanfaatan dan kegunaan. Oleh karenanya, disini dituntut pelaksanaan program pemeliharaan yang baik dan terstruktur serta dukungan program pelestarian sumber daya air itu sendiri yang merupakan wewenang dan tanggungjawab Ditjen SDA dan Kehutanan. Dari segi teknis pemanfaatan, Dinas Pertanian dituntut pula melaksanakan sistem pertanian yang mendukung azas pelestarian lingkungan hidup seperti menerapkan sistem pertanian terpadu, integrasi tanaman dan ternak, metoda budidaya padi organik (melalui metoda SRI atau Jajar Legowo), PHT, dan lain-lain.
  4. Transparansi, akuntabel, dan berkeadilan ; poin ini merupakan hal yang gampang-gampang susah untuk dilaksanakan. Tidak ada kriteria yang jelas untuk memonitor realisasinya. Paling tidak kita dapat mengharapkan partisipasi masyarakat petani untuk dapat mengontrol ketiga poin tersebut. Dengan adanya peraturan ini, petani melalui organisasi P3A / GP3A dapat melakukan aksi pengawasan langsung atas proses dan pembiayaan operasi dan pemeliharaan di wilayah kewenangannya. Azas ini mensyiratkan bahwa proses pembangunan adalah milik masyarakat petani dan petani mempunyai hak untuk menentukan arah pembangunan daerahnya dan menuntut transparansi, akuntabilitas, dan keadilan kebijakan yang dilaksanakan.

Selasa, 16 Maret 2010

Padi SRI Tidak Identik dengan Padi Organik

Metoda SRI (System of Rice Intensification) memang sangat menganjurkan penggunaan pupuk organik sebagai langkah jangka panjang untuk memperbaiki struktur dan kesuburan tanah serta hasil yang lebih baik (terutama segi kualitas beras yang dihasilkan). Akan tetapi metoda SRI tidak harus menggunakan pupuk organik untuk dapat menghasilkan produksi yang maksimal.

Di beberapa tempat dimana diadakan petak-petak percontohan, kesalahpahaman bahwa SRI mutlak harus menggunakan pupuk organik adalah suatu kesalahan fatal dalam perkembangan aplikasi metode ini. SRI hanyalah suatu metode dimana kondisi lingkungan mikro pertanaman padi dibuat menjadi lebih optimal dengan memberikan keleluasaan tumbuh yang lebih baik, aerasi daerah perakaran yang lebih optimal, dalam lingkup irigasi menggunakan ketersediaan air yang lebih efisien sehingga ketersediaan air dapat digunakan dalam areal yang lebih luas.

Penggunaan pupuk organik yang disyaratkan pada praktek petak percontohan tanpa penjelasan yang jujur dan bijak menjadi kendala utama bagi perkembangan pelaksanaan metode SRI selama ini. Selain itu, beberapa kendala lainnya juga dijumpai di tingkat lapangan, sehingga SRI dianggap sebagai metode yang sulit dilakukan oleh petani, yaitu diantaranya adalah :
  1. SRI "harus" menggunakan pupuk organik dimana sampai saat ini petani belum siap memproduksi pupuk organik sendiri dan pupuk organik masih "mahal" untuk dibeli.
  2. Penanaman 1 (satu) bibit perlubang tanam dengan bibit yang masih muda msih merupakan praktek yang sulit dilaksanakan petani karena harius dilaksanakan secara cepat.
  3. Sistem pemberian air yang terputus (intermitten) di lahan beririgasi merupakan hal yang masih sulit dilaksanakan dimana pergiliran pengairan pada petak-petak tersier / sekunder dilaksanakan berdasarkan waktu hari (10 harian, 2 mingguan atau pada musim kemarau di daerah kering dilaksanakan sebulan sekali)
  4. Proses pengeringan lahan di lahan beririgasi yang relatif datar masih sulit dilaksanakan.
Dari beberapa kendala yang dijumpai di tingkat lapangan seperti disebutkan di atas, pengembangan metode SRI sebaiknya dilaksanakan dengan faktor pendukung berkut :
  1. Pada saat sosialisasi, perlu ditekankan bahwa SRI tidak harus menggunakan pupuk organik atau SRI dilaksanakan sebagai bagian dari integrated farming system (pertanian terpadu) terutama antara tanaman dan ternak (sapi atau ayam). Pada sistem pertanian terpadu, kebutuhan pupuk organik dapat dipenuhi dari limbah ternak, sedangkan kebutuhan pakan ternak dapat dipenuhi dari limbah tanaman (jerami atau sekam/dedak).
  2. Lebih mengutamakan pengembangan di areal dengan ketersediaan buruh tani yang cukup setiap musim tanam atau dengan penekanan sistem bertani secara berkelompok (sistem gotong royong).
  3. Pengembangan diutamakan pada areal dengan kemiringan yang cukup (mungkin lebih dari 3%) atau bahkan pada lahan dengan terasering agar proses pengeringan dapat dilakukan dengan baik (pada lahan dengan proses drainase / pembuangan air yang lebih baik). Selain itu, SRI nampaknya lebih cocok dikembangkan pada luas petakan yang lebih sempit (kurang dari 2000 m2) agar proses penanaman bibit da pengeringan dapat dilakukan secara cepat.
  4. Pelaksanaan SRI disertai dengan pengembangan budaya pembuatan saluran keliling atau cacingan pada setiap petak tersier. Sejak belasan tahun lalu, saluran cacingan ini telah disosialisasikan dalam rangka pengaturan air yang lebih baik pada lahan yang sulit menerapkan jadwal penanaman serempak dan juga sebagai langkah preventif bagi pengendalian hama tikus dan lainnya (PHT dengan pengaturan lingkungan).
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, nampaknya pengembangan SRI di Indonesia sebaiknya dikonsentrasikan pada lahan dengan terasering dimana luas petakannya lebih sempit dan kebutuhan tenaga buruh untuk setiap petakan dapat dipenuhi setiap saat. Selain itu, proses pengeringan lahan akan lebih mudah dilaksanakan.

Kembali pada persoalan pokok dimana SRI sering diidentikkan dengan padi organik. Beberapa petak percobaan di lahan petani menunjukkan peningkatan hasil yang signifikan dengan hanya menerapkan pupuk kimia berimbang sesuai anjuran setempat. Penggunaan pupuk organik terutama yang berasal dari ternak sapi memang merupakan teknologi yang sangat dianjurkan untuk pertanaman padi, dengan SRI atau tanpa SRI. Hal ini sangat erat kaitannya dengan perbaikan strukutur tanah dalam jangka yang panjang melalui perkembangan mikroorganisme tanah yang lebih baik dan pemenuhan unsur-unsur hara mikro yang secara nyata memperbaiki kualitas beras yang dihasilkan. Beberapa demplot yang dilaksanakan dengan metode konvensional oleh Departemen Pertanian, menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kandang ternak sapi yang tercampur dengan urine sapi (takaran 2 ton/ha) dengan 50% dosis penggunaan pupuk kimia secara nyata meningkatkan produksi padi sekitar 25% sampai 40% dengan kualitas beras yang lebih baik.
.

Minggu, 14 Maret 2010

Pertumbuhan dan Hasil Padi SRI

Bagi yang belum melihat hasil budidaya padi SRI (System of Rice Intensification), pertumbuhan awal nampak lebih kecil atau lambat dibanding dengan cara budidaya konvensional. Hal ini bisa dimaklumi karena pada metode SRI, bibit yang ditanam adalah bibit muda (5 - 10 hari) sehingga membutuhkan waktu penyesuaian lingkungan yang lebih lama, selain itu faktor pemberian air secara intermitten (terputus-putus) membuat pertumbuhan awal lebih tertekan. Hal ini berlangsung sampai umur sekitar 60 hari, dimana tinggi tanaman baru bisa menyamai tinggi tanaman padi dengan metode konvensional.

Akan tetapi, berbeda dengan tinggi tanaman, jumlah anakan dengan metode SRI melampaui jumlah anakan metode konvensional pada umur 30 hari setelah tanam. Rupanya, pengeringan lahan berpengaruh lebih baik pada perkembangan anakan daripada pertumbuhan tinggi tanaman.